Boleh jadi sebuah kebetulan. Menjelang Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober, Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 Indonesia, berbicara tentang Pancasila di Jeju Forum untuk Perdamaian dan Kesejahteraan 2022, di Jeju, Korea Selatan (15/9/2022).
Di forum perdamaian yang bergengsi itu Megawati menyatakan, Pancasila mengandung nilai-nilai universal, yang dapat diterapkan tak hanya oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara lain di dunia. Nilai-nilai itu antara lain menghargai perbedaan dan mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan konflik. Pancasila perlu terus digaungkan ke seluruh dunia dengan harapan menjadi dasar terciptanya perdamaian.
Menjelang Hari Kesaktian Pancasila, menarik untuk mengulik kait-kelindan antara Pancasila dan Kesaktian Pancasila dalam perspektif diplomasi dan kebijakan luar negeri.
Pancasila masuk dalam khazanah diplomasi Indonesia pertama kali ketika Bung Karno berpidato dalam Sidang Majelis Umum PBB, 30 September 1960, dengan judul yang sangat menggugah: ”To Build the World A New” (Membangun Dunia Baru). Presiden pertama RI itu menguraikan lima prinsip Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Indonesia.
Pidato itu menjadi istimewa karena dua hal. Pertama, karena yang berpidato presiden sebuah negara yang baru merdeka. Baru bangkit dari nestapa akibat penjajahan, menjadi negara merdeka yang berhak atas nasibnya sendiri dan menyerukan kemerdekaan bagi negara yang masih ditindas kolonialisme.
Kedua, suasana psikologi politik dunia saat itu dihantui oleh rivalitas dua ideologi besar, liberalis-kapitalisme dan sosialis-komunisme. Persaingan dua ideologi hegemonik yang menjerumuskan banyak negara ke dalam kenistaan perang saudara dan perpecahan.
Maka tak heran jika Bung Karno menawarkan Pancasila sebagai nilai yang mendamaikan dan menyatukan. Pancasila sebagai ideologi perdamaian merupakan ”jalan ketiga” yang memuat nilai-nilai pemersatu terhadap dua ideologi yang berseteru. Tapi, seberapa pentingkah ideologi dalam diplomasi dan kebijakan luar negeri?
Para ahli hubungan internasional hampir sepakat, ideologi bisa digunakan sebagai instrumen dalam memperjuangkan kepentingan nasional melalui diplomasi dan kebijakan luar negeri. Secara awam, ideologi dimaknai sebagai rangkuman sistem nilai yang dipercaya oleh suatu bangsa dalam menilai, memaknai, dan bertindak.
Seturut dengan ini, dalam menilai dan bertindak terhadap dinamika internasional, suatu bangsa berpedoman pada sabda ideologinya. Tak terkecuali bangsa Indonesia. Dalam menetapkan kebijakan luar negeri, para pemimpin sudah pasti menjadikan nilai yang terkandung dalam ideologi negara sebagai pedoman moral dalam memilih tindakan diplomatik.
Terkait penggunaan ideologi sebagai alat kebijakan luar negeri, pakar hubungan internasional memetakan fungsi ideologi dalam dua lanskap utama: sebagai pedoman untuk menilai dan mengukur setiap fenomena politik internasional, dan sebagai instrumen melakukan tindakan politik terhadap fenomena itu (Sylvan & Majeski, Ideology and Intervention, 2008).
Sejalan dengan pendapat ini, peran ideologi Pancasila dalam diplomasi dan kebijakan luar negeri bisa dipindai dari dua fungsi. Pertama, sebagai pedoman ideal dalam bersikap dan bertindak terhadap dinamika politik internasional. Hubungan antarnegara kental spirit nasionalisme. Semua negara tentu mengutamakan kepentingan nasional, termasuk Indonesia
Ambil contoh sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ini mengandung nilai nasionalisme. Bagaimana aktualisasi nilai nasionalisme ini dalam laku diplomasi Indonesia? Dalam wacana nasionalisme Indonesia dikenal konsep nasionalisme Bung Karno: sosio-nasionalisme (Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, 2015).
Memang, embrio nasionalisme Bung Karno berurat akar pada anti-kolonialisme. Namun, itu tak berarti Indonesia menarik diri dari pergaulan internasional. Nasionalisme dan internasionalisme bagai dua sisi mata uang: saling menguatkan, saling mengisi. Relasi keduanya dengan apik dilukiskan Bung Karno: nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sari internasionalisme; dan internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam bumi nasionalisme.
Kesaktian Pancasila teruji
Dalam dimensi praksis, ini artinya nasionalisme Indonesia diletakkan dalam bingkai ”sosial kemanusiaan”. Maka, dikenallah ia dengan istilah ”sosio-nasionalisme”: nasionalisme berdimensi kemanusiaan, sebuah kewajiban moral seperti dititahkan sila ketiga Pancasila.
Aura sosial-kemanusiaan inilah yang terpancar dari diplomasi Jokowi ketika nekat berkunjung ke Ukraina dan Rusia untuk membuka pintu perdamaian. Sama halnya ketika Menlu RI Retno Marsudi bergiat dalam program Covax (Covid-19 Vaccines Global Access) Facility, program pengadaan dan alokasi vaksin di bawah WHO. Diplomasi kesehatan ini jelas senapas dengan sila kedua Pancasila: kemanusiaan
Kedua, Pancasila digunakan sebagai instrumen diplomasi untuk membantu menyelesaikan konflik. Setelah Bung Karno pidato pada Sidang MU PBB 1960, Pancasila sebagai ideologi perdamaian mulai dikenal negara sahabat. Bahkan hingga kini. Banyak kepala negara memuji Indonesia yang mampu mempersatukan masyarakat majemuk dalam suku, etnik, dan agama dalam satu negara.
Spirit pemersatu yang terkandung dalam Pancasila dikagumi banyak negara dunia. Banyak negara mengalami perpecahan akibat konflik suku, etnik, dan agama, Indonesia dengan Pancasilanya tetap utuh dalam negara kesatuan. Inilah Kesaktian Pancasila.
Keutuhan Indonesia sebagai negara yang beragam dalam suku, etnik, dan agama sudah teruji oleh gonjang-ganjing politik dunia. Indonesia dengan Pancasilanya survive melalui berbagai tragedi sejarah dunia.
Sebut saja, misalnya, selama Perang Dingin (1947-1989) banyak negara bubar dan pecah, Indonesia tetap utuh. Tatkala Tembok Berlin runtuh (1991) di pengujung Perang Dingin, banyak negara di kawasan Eropa Timur, Baltik, Balkan, dan Asia Tengah mengalami disintegrasi dan hancur akibat konflik etnik dan agama, Indonesia tetap solid sebagai negara bangsa.
Tragedi 11 September 2001 di New York memantik kecurigaan antara Barat dan dunia Islam. Namun, Indonesia justru menjadi role model sebagai negara mayoritas Muslim yang dapat mengadopsi demokrasi.
Demokrasi dan Islam ternyata berjalan seiring di Indonesia. Manakala Arab Spring pada 2011 meniupkan angin demokrasi di kawasan Arab Timur Tengah dan memorakporandakan negara-negara di kawasan itu dalam kecamuk perang saudara, Indonesia tetap kokoh dalam negara kesatuan. Tak disangsikan, itu karena Indonesia berkomitmen dengan Pancasila. Itulah Kesaktian Pancasila.
Ketangguhan ideologi Pancasila dalam terpaan dinamika sejarah dunia menjadi modal politik bagi Indonesia untuk menggunakan Pancasila sebagai instrumen diplomasi. Dengan reputasi seperti itu, Indonesia pernah ikut membantu menyelesaikan konflik di beberapa negara, seperti Kamboja, Filipina, Myanmar, dan Afghanistan.
Ketangguhan ideologi Pancasila dalam terpaan dinamika sejarah dunia menjadi modal politik bagi Indonesia untuk menggunakan Pancasila sebagai instrumen diplomasi. Dengan reputasi seperti itu, Indonesia pernah ikut membantu menyelesaikan konflik di beberapa negara, seperti Kamboja, Filipina, Myanmar, dan Afghanistan.
Diplomasi Pancasila tak hanya sebatas pada upaya membantu negara sahabat yang mengalami perpecahan karena konflik, tapi juga bisa dilakukan sebagai upaya memproyeksikan citra bangsa dan negara
Di tengah dunia yang menghadapi konflik, baik yang berlatar belakang teritorial maupun etnik dan agama, diplomasi Pancasila perlu dikembangkan. Pancasila sebagai ideologi perdamaian yang sarat nilai pemersatu harus diproyeksikan dalam diplomasi Indonesia sebagai manifestasi kewajiban moral ikut menjaga perdamaian dunia.
(Darmansjah Djumala)
Kepala Pusat Studi Pancasila
Universitas Pancasila.